Usia Abd’l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh
tahun atau lebih tatkala Abrahah mencoba menyerang Mekah dan
menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah
duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan
Abd’l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb bin Abd Manaf bin Zuhra, –
pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai pula usianya dan mempunyai
kedudukan terhormat.
Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu,
Abd’l-Muttalib juga kawin dengan Hala, puteri pamannya. Dari perkawinan
ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia. Abdullah
dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan
adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga
pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga
Abd’l-Muttalib.
Beberapa saat setelah perkawinan, Abdullahpun pergi
dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang
dalam keadaan hamil. Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama
beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi.
Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Medinah sekadar
beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu
ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia
menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun
pulang lebih dulu meninggalkan dia.
Abd’l-Muttalibmengutus Harith – anaknya yang sulung – ke
Medinah, supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi
sesampainya di Medinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan
sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah.
Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas
kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa hati Abd’l-Muttalib,
menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini
menjadi harapan kebahagiaan hidupnya.Peninggalan Abdullah sesudah wafat
terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak
perempuan, yaitu Umm Ayman – yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh
jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan; tapi
tidak juga merupakan suatu kemiskinan.
Aminah melahirkan beberapa bulan kemudian. Selesai
bersalin dikirimnya berita kepada Abd’l Muttalib di Ka’bah, bahwa ia
melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu
setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya.
Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada.
Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu
dibawanya ke Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di
kalangan orang Arab tapi cukup dikenal.
Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli
berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570
Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah pada
tanggal duabelas Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang
lain. Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd’l-Muttalib minta
disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan
masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama
Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama
nenek moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji,1 bagi
Tuhan di langit dan bagi makhlukNya di bumi,” jawab Abd’l Muttalib.
Sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di
Mekah bahwa anak yang baru lahir disusukan kepadakepada salah seorang
Keluarga Sa’d. Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu
Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya,
Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga
kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan. Thuwaiba hanya
beberapa hari saja menyusukan.
Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa’d yang
akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan
mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim, karena
mereka mengharapkan upah yang lebih. Sedang dari anak-anak yatim sedikit
sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu
tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Salah seorang dari mereka,
Halimah bint Abi-Dhua’ib, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai
gantinya. Setelah mereka akan meninggalkan Mekah, Halimah memutuskan
untuk mengambil Muhammad. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu
ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun
bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya. Selama dua
tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh
Syaima’, puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar
menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan
pertumbuhan badannya.
Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih,
Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya
kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata
sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak
Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang
dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah. Dua tahun lagi anak itu
tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas,
tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.
Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun,
ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa
sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama anak-anak itu sedang
berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak
yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata
kepada ibu-bapanya: “Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh
dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah,
sambil di balik-balikan.” Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan,
bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan
ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya
pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan:
“Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang
laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu perutku di bedah.
Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”
Keluarga itu kemudian ketakutan, kalau-kalau terjadi
sesuatu pada anak itu. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada
ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi
sesudah kenabiannya. Dalam riwayat yang diceritakan Ibn Ishaq, dikatakan
bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya
dua malaikat itu, melainkan ada beberapa orang Nasrani Abisinia
memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu.
Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata: “Biarlah kami bawa
anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang
penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya.” Halimah lalu cepat-cepat
menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu.
Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah
memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian
juga Ibu Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih
sayang dan hormat selama hidupnya itu. Penduduk daerah itu pernah
mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan
Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia
dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat
puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya
yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda
penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan
bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if dikepung, kemudian dibawa
kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan
kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita itu.
Kemudian Abd’l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya
itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala
kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu – pemimpin
seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah – diletakkannya hamparan tempat dia
duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-anaknya lalu duduk pula
sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi
apabila Muhammad yang datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas
hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa
besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
di belakang dari tempat mereka duduk itu.
Ketika Nabi berusia 6 tahun, Aminah membawanya ke
Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak
Keluarga Najjar. Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak
perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah
kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta
tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai
anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan
panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu
tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya
dari pihak ibu.
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah
bersama rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa
mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di
Abwa’,2 ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan
dikuburkan pula di tempat itu. Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke
Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin
merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya
hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia
mendengar dari Ibunda keluhan duka kehilangan Ayahanda semasa ia masih
dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk
tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini
dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun
begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih
mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur’anpun disebutkan,
ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya
itu: “Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang
yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu
ditunjukkanNya jalan itu?” (Qur’an, 93: 6-7)
Nabi kemudian di bawah asuhan kakeknya, Abd’l-Muttalib.
Tetapi orang tua itu juga meninggal tak lama kemudian, dalam usia
delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan
tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya
itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu
sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda
jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.
Kemudian pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib,
sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara
tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas
yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia
hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada
(makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib mempunyai
perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula
mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian
kepada Abu Talib. Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti
Abd’l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan
daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas,
suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.
Ketika usia Nabi baru duabelas tahun, ia turut dalam
rombongan kafilah dagang bersama Abu Talib ke negeri Syam. Diceritakan,
bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa
rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan
petunjuk cerita-cerita Kristen. Rahib itu menasehatkan keluarganya
supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan
orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat
terhadap dia.
Dalam perjalanan itulah, Nabiyullah mendapat pengalaman
dan wawasan yang berguna. Beliau dapat melihat luasnya padang pasir,
menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang.
Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit’l-Qura serta peninggalan
bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dsegala cerita orang-orang Arab
dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya
masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di
kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan
membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang
tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran
pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di
Syam Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama
Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi
Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi
perang dengan Persia. Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia
sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan otak, tinjauan yang
begitu dalam, ingatan yang cukup kuat, serta segala sifat-sifat semacam
itu yang diberikan Allah kepadanya sebagai suatu persiapan akan
menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke
sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap
segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di
manakah kebenaran dari semua itu?
Muhammad yang tinggal dengan pamannya, menerima apa
adanya. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang
seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah
dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang
berdekatan dengan ‘Ukaz, Majanna dan Dhu’l-Majaz, mendengarkan
sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan
Mu’allaqat, yang melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan,
melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan
jasa-jasa mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang
Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut
keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya
ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya
itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.
Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah
mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat
bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan
memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran
dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Kalau Muhammad sudah mengenal
seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abu Talib, sudah
mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan
pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama
bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata,
ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang Fijar.
Perang Fijar bermula dari peristiwa pembunuhan yang
dilakukan oleh Barradz bin Qais dari kabilah Kinana kepada ‘Urwa
ar-Rahhal bin ‘Utba dari kabilah Hawazin pada bulan suci yang sebenarnya
dilarang untuk berperang. Seorang pedagang, Nu’man bin’l-Mundhir,
setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke ‘Ukaz, tidak jauh
dari ‘Arafat. Barradz menginginkan membawa kafilah itu ke bawah
pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga ‘Urwa menginginkan mengiringi
kafilah itu. Nu’man memilih ‘Urwa (Hawazin), dan hal ini menimbulkan
kejengkelan Barradz (Kinana). Ia kemudian mengikutinya dari belakang,
lalu membunuhnya dan mengambil kabilah itu. Maka terjadilah perang
antara mereka itu. Perang ini hanya beberapa hari saja setiap tahun,
tetapi berlangsung selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan
suatu perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban manusia
lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu
kepada pihak lain. Maka dengan demikian Quraisy telah membayar
kompensasi sebanyak duapuluh orang Hawazin. Perang fijar ini terjadi
ketika Nabi berusia antara limabelas tahun sampai duapuluh tahun.
Beberapa tahun sesudah kenabiannya Rasulullah
menyebutkan tentang Perang Fijar itu dengan berkata: “Aku mengikutinya
bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang
itu; sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan.”
Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja
tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya
masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka
tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan
riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan
sepuas-puasnya
Akan tetapi Nabi telah menjauhi semua itu, dan sejarah
cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak
mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Mekah, yang tidak
mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut
hanyut juga dalam hiburan itu. Jiwa besarnya yang selalu mendambakan
kesempurnaan, itu lah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang
biasa menjadi sasaran utama pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup
yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan
dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh
julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam
dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan,
kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekah
semua memanggilnya Al-Amin (artinya ‘yang dapat dipercaya’).
Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir,
ialah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu.
Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah.
Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu
menggembala itu. Di antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus
Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala
kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala
kambing keluargaku di Ajyad.” Gembala kambing yang berhati terang
itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang
bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk
pemikiran dan permenungannya.
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari
segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu
sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di
hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya
Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan
kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin. Pada
suatu hari ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal ini
dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia ingin turun ke
Mekah, bermain-main seperti para pemuda di gelap malam, dan dimintanya
kawannya menjagakan kambing ternaknya itu. Tetapi Allah SWT selalu
melindunginya, sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya tertarik pada
suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia
tertidur. Pada malam berikutnya datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud
yang sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari
langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.
Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa
pertumbuhannya yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa
mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang mengajak
orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini dimulai sejak kematian
ayahnya ketika ia masih dalam kandungan, kemudian kematian ibunya,
kemudian kematian kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan
harta kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa yang
kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia memelihara diri dan
menyesuaikannya dengan kehidupan batin.
Ketika Nabi itu berumur duapuluh lima tahun. Abu Talib
mendengar bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa
dengan kafilah ke Syam. Abu Talib lalu menghubungi Khadijah untuk
mengupah Muhammad untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah setuju
dengan upah empat ekor unta. Setelah mendapat nasehat paman-pamannya
Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan
padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui
Wadi’l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah
dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad
mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara
perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan
orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan
perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan
Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka
membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai
oleh Khadijah. Setelah kembali di Mekah, Muhammad bercerita dengan
bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang
diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya.
Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. sesudah itu, Maisara
bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa
tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di
samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah
berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia – yang sudah berusia empatpuluh
tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan
pembesar-pembesar Quraisy – tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini,
yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah
ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan – kata sebuah
sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya – kata sumber lain.
Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau
kawin?” “Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab
Muhammad. “Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta,
terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?” “Siapa itu?”
Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: “Khadijah.” “Dengan cara
bagaimana?” tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada
Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan,
mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan
bangsawan-bangsawan Quraisy. Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa
mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka iapun menyatakan
persetujuannya.
Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang
kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu
dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan. Kemudian
perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin
Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Di
sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya
kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa, suami-isten yang
harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang
telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami
Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar