“Alam terkembang jadi guru”, demikian falsafah yang dianut oleh masyarakat yang hidup dan berasal dari alam Minangkabau. Falsafah ini “unique”, karena berlaku sebagai panutan dan pelajaran hidup bagi hubungan antar manusia dengan masyarakat dan indivisu dengan individu.
Masyarakat minangkabau, memetik suatu kejadian, peristiwa akibat sesuatu yang ditimbulkan dari proses alam. Manusia adalah subyek hukum yang memiliki fungsi dan peran yang berbeda menurut kodrat dan dan harkat yang diberikan alam kepadanya. Secara sosio psikologi, kemampuan manusia dalam berbuat sesuatu tidaklah sama. Seperti halnya contoh yang diberikan alam, ada bermacam-macam buah yang berbeda bentuk dan rasanya. Begitu pula bagi makhluk hewan, ada yang jinak dan ada yang buas.
Secara berkelompok atau sendiri-sendiri, manusia memerlukan sandang, pangan dan papan untuk memenuhi kebutuhan lahir dan bathin. Perbedaan pandangan dan penilaian terhadap setiap individu, ditentukan oleh prestasinya dalam berusaha dan berikhtiar, agar ia menjadi mulia, ternama, pintar dan kaya. Namun dari sisi penguasa Alam semesta yaitu ALLAH SWT, setiap manusia atau orang, dipandang dalam status dan kedudukan yang sama. Tidak ada lapisan individu dimata Tuhan, melainkan amal dan perbuatan yang baiklah yang menjadikan manusia mulia dimata Tuhan.
Dalam falsafah minang, maka setiap manusia menempati posisi tegak sama tinggi dan duduk sama rendah, begitu kata petuah mereka. Lebih lanjut petuah itu memberi arahan kepada individu, bahwa sebagai makhluk sosial agar masing-masing individu dapat mencapai kemuliaan dengan petuah yang terurai sebagai berikut :
Jika hendak mulia – harus suka memberi, jika ingin ternama (terkenal) dirikan kemenangan, jika mau pandai rajin berguru, jika ingin kaya harus kuat berusaha”
Bila kita kembalikan kepada falsafah alam, apakah pencapaian prestasi ini semata-mata usaha dan upaya manusia ? Contoh yang diberikan, menunjukkan dari pohon yang jenisnya sama akan dihasilkan buah yang sama. Namun ternyata kualitas yang dihasilkan tidak selalu sama. Mengapa ? Karena dibutuhkan pupuk dan cara pengolahannya.
Demikian pula dengan manusia yang “dibesarkan”. Maksudnya, seseorang yang meraih prestasi karena bila ia dibantu dan ditopang orang lain. Walaupun ia melompat sendirian namun ia tetap butuh pijak.
Menurut strukturnya, seseorang adalah individu. Semua individu adalah anggota masyarakat etnis dan lingkungan sosial. Setiap individu pada masyarakat yang komunal seperti di Ranah Minang, misalnya, maka setiap individu adalah milik masyarakatnya dan masyarakat itu adalah milik bersama bagi setiap individu. Oleh karena saling memiliki, maka kedua belah pihak tidak dapat saling menguasai.
Hal ini dapat ditunjukkan pada pemilikan harta yang berada dalam aturan dan ketentuan yang unik. Untuk menghindari disharmoni yang tidak sesuai dengan ajaran alam, maka secara unik dibentuk sistem kekerabatan dan ekonomi komunal berdasarkan paham etnis yang menganut stelsel matrilinial serta sistem perkawinan antar etnis dengan cara eksogami.
Sumber: Bundo kanduang.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar